Sabtu, 05 Mei 2012

Mempertimbangkan Nasib Guru

 


12-04-2000 / 09:44 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kali ini guru yang mogok, Senin (14/10). Itu dipicu oleh kenaikan tunjangan jabatan stuktural para pejabat yang gila-gilaan. Mereka memprotes ketidak-adilan yang mereka rasakan. Karena itu, mereka meminta kesejahteraan mereka juga diperhatikan dan ditingkatkan. Pemogokan itu dilakukan di beberapa daerah, Senin (10/4). Mereka berjumlah ribuan, tersebar di Karawang dan Bogor, Jawa Barat, ratusan guru TK sampai SLTA di Jayapura (Papua), Bantul (DI Yogyakarta) dan Pontianak (Kalbar). Akibatnya, banyak pelajar terlantar.
Selama ini guru memang tampak pasrah dengan nasibnya: gaji kecil dan hidup pas-pasan. Sementara pada sisi lain, mereka harus mengemban tugas mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini sebuah kenyataan yang sangat ironis. Sangat berbeda dengan rekan-rekan mereka yang berprofesi pekerja swasta, buruh misalnya, yang berani berontak dan memprotes ketidak adilan yang mereka rasakan. Padahal gaji guru berpangkat rendah Golongan II-A, misalnya, tidak jauh berbeda dengan gaji seorang buruh pabrik yang hanya berpendidikan SD. Itu belum termasuk potongan-potongan untuk berbagai alasan yang dilegalkan.
Tragis memang. Tetapi, entah karena ditakdirkan menjadi penyabar, selama ini hampir tidak pernah terdengar mereka melakukan protes. Kalau pun ada, itu hanya keluhan-keluhan kecil yang tidak sampai terdengar secara luas. Agaknya, Orde Baru telah membuat mereka menjadi abdi negara yang patuh dan santun: sebagaimana yang mereka ajarkan kepada murid-muridnya. Meskipun kepatuhan itu makin membuat mereka terpuruk dalam kemiskinan dan kemelaratan. Nasib semacam itu tidak hanya menimpa guru-guru di daerah, juga di kota besar semacam Jakarta.
Kompas (3/9/98) menulis, seorang wakil kepala SMUN di Jakarta Barat dengan pangkat IV-A, sekitar Rp. 400 ribu, termasuk tunjangan jabatan sebagai wakil kepala sekolah sebesar Rp. 7 ribu, dan tunjangan fungsional Rp. 60 ribu (atau Rp. 40 ribu rupiah perbulan untuk golongan III). Kasus lain, seorang Wakil Kepala Sekolah SMUN di Jakarta Selatan dengan golongan III-D dan masa kerja sepuluh tahun, hanya menerima Rp. 385 ribu perbulan. Sementara seorang wakil kepala sekolah bergolongan IV-A dengan masa kerja 16 tahun, memperoleh pendapatan sekitar Rp. 500 ribu perbulan.
Yang lebih tragis, seorang guru wanita golongan III-A dengan masa kerja dua tahun, mengaku hanya menerima Rp. 160 ribu. Padahal upah minimum regional (UMR) untuk wilayah DKI Jakarta pada saat itu adalah Rp. 198.500.
Sebenarnya, pada masa Presiden Habibie, Persatuan Guru Republik Indonesi (PGRI) pernah mengusulkan supaya gaji guru naik sampai 200 persen. Mereka juga mengusulkan supaya tunjangan pendidikan bagi guru tidak jauh berbeda dengan tunjangan fungsional untuk dosen. "Tidak perlu sama, karena dosen punya tugas yang lebih berat dan berbeda dengan guru. Tetapi, kami mengusulkan tunjangan fungsional ini ditingkatkan," kata HM Surya, Ketua Umum PGRI (Kompas, 7/1/99). Waktu itu, menurut Surya, Presiden Habibie sudah menerima usulan tersebut, dan sudah dalam penelaahan Mendikbud. Tetapi tidak jelas, bagaimana akhir dari usulan itu.
Yang justru naik berlipat-lipat, kini, adalah tunjangan struktural para pejabat. Dan tampaknya, kenaikan tunjangan stuktural yang gila-gilaan itu membuat banyak pegawai negeri non-struktural protes, termasuk guru dan dosen. Terakhir, pemogokan guru yang dilakukan Senin (10/4) kemarin yang melibatkan ribuan guru di berbagai daerah.
Sebenarnya, di luar negeri, tepatnya di kota Phnom Penh, Kamboja hal yang sama pernah terjadi awal 1999 lalu. Bedanya, para guru yang mogok itu tidak jalan sendiri. Mereka didukung oleh murid-muridnya. Pemogokan itu juga dipicu oleh hal yang sama pula: tingginya gaji pejabat pemerintah dan anggota parlemen dibandingkan dengan mereka, yakni sekitar 400 sampai 2.000 dolar AS perbulan. Padahal gaji mereka hanya sekitar 70 ribu riel atau sekitar 18 dolar AS perbulan. Karena itu, para guru di negeri itu menuntut gaji 1,2 juta riel atau sekitar 315 dolar AS.
Terlepas dari itu, pertanyaan kita sekarang: akankah pemerintah memberikan perhatian lebih kepada guru? Ini yang belum terlihat kini. Tetapi setidaknya, peristiwa pemogokan itu menjadi cambuk bagi pemerintah untuk memikirkan dengan sungguh-sungguh nasib guru. Karena, selama ini, pengabdian yang mereka berikan, belum sebanding dengan penghargaan yang mereka terima.

.

.
Template by : kendhin Honor Jangar