Sabtu, 05 Mei 2012

''In Memoriam'' Guru Bantu

Rabu, 04 Januari 2006
  
Oleh Sucipto Hadi Purnomo
DI antara harapan yang membuncah di benak para guru setelah pengesahan Undang-undang Guru dan Dosen (UGD), berpuluh-puluh ribu guru bantu justru tengah dirundung kecemasan. Tanggal 31 Desember 2005, masa kontrak mereka yang direkrut pada 2003 berakhir sudah, sementara kepastian akan kelanjutan, apalagi ''kenaikan'', status belum kunjung tiba.
Inilah pukulan untuk kali kesekian yang mesti mereka terima. Pukulan bertubi-tubi telah mereka dapatkan. Sebab, ''opera sabun'' nan tragik dengan lakon guru bantu itu bisa dimulai dari pemerolehan status yang harus dengan susah payah mereka perebutkan, meski jelas itu bukan yang mereka idamkan.
Berstatus guru bantu terang bukan pilihan, melainkan keterpaksaan. Terpaksa, daripada jadi GTT, nasib akan jauh lebih tak menentu.
Begitu menandatangani kontrak -istilah ''guru bantu'' sendiri konon dipilih untuk memperhalus istilah yang digunakan sebelumnya, ''guru kontrak'' - mereka berhak atas gaji Rp 460.000 per bulan dari APBN.
Sebuah jumlah yang berada di bawah upah minimum provinsi yang diterima buruh pabrik. ''Untunglah'', gaji tersebut urung disunat buat pajak penghasilan.
Payah
Tapi jangan cepat-cepat menyebut mereka beruntung. Baru beberapa bulan berjalan, keterlambatan demi keterlambatan dalam penggajian terus berlangsung, sebagaimana pada Maret dan April tahun lalu. Sebuah tengara yang sangat jelas, betapa komitmen pemerintah terhadap nasib guru teramat payah.
Ketika bahan bakar minyak (BBM) selama 2005 dinaikkan, yang berujung melonjaknya harga barang dan jasa, gaji para guru bantu tetap jongkok di tempat. Ketika lewat kebijakan-kebijakan yang berkesan sangat populis pemerintah mengucurkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM), guru bantu tetap tak tersentuh.
Justru berbagai ironi terjadi. Honor yang sebelumnya dianggarkan oleh kepala sekolah dan komite sekolah untuk guru wiyata bakti, di kebanyakan sekolah negeri tiba-tiba saja dihilangkan setelah mereka berstatus sebagai guru bantu ataupun guru honorer daerah.
Memang pada beberapa sekolah negeri, dengan mereka menjadi guru bantu, gaji itu sedikit lebih besar, tapi jika kemudian sekolah lepas tangan, sungguh patut disesalkan. Bukankah, sekali lagi, gaji itu masih demikian rendah dan jauh di bawah gaji para guru yang berstatus pegawai negeri.
Rupa-rupanya pengurus komite (yang kebanyakan kaya) dan kepala sekolah (yang berstatus pegawai negeri dengan jenjang kepangkatan tinggi) beranggapan bahwa kesejahteraan guru bantu sudah berada di tangan pemerintah pusat. Tapi bukan hanya pemangku kewenangan di tingkat sekolah saja yang makin tidak sensitif terhadap korban pemiskinan macam itu. Di tingkat pemerintah daerah, baik kota / kabupaten maupun provinsi, kondisinya pun setali tiga uang.
Hampir-hampir tak ada kompensasi secara berarti yang diupayakan pemerintah daerah untuk mendongkrak kesejahteraan para guru bantu. Padahal jelas, jika saja mau, kalau hanya untuk menambah penghasilan guru bantu dengan menambah dua kali lipat dari besaran yang diberikan oleh APBN, pemerintah kota / kabupaten ataupun pemerintah provinsi tak bakalan bangkrut.
Rendahnya pendapatan yang berarti rendah pula kemampuan para guru bantu untuk memenuhi kebutuhan hidup, yang paling elementer sekalipun, telah mengakibatkan berbagai persoalan yang memiliki efek domino.
Boro-boro melakukan investasi dan pengembangan profesionalitas jika untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling primer sekalipun, mereka harus lebih gigih lagi mencari samben.
Bagaimana berharap mereka meng-up date ilmu, jika kemampuan untuk mengakses pengetahuan baru saja teramat rendah.
Karena itu, mungkin dan masih pantaskah, sebagaimana penggalan puisi Prof Dr Winarno Surachmad yang dibacakan saat puncak peringatan Hari Guru, beberapa waktu lalu, kita ''berharap yang terbaik dari kondisi yang terburuk?''
Keterlambatan pembayaran gaji dan sedikitnya nominal yang mereka terima hanyalah sedikit contoh dari sekian problematika yang menghinggapi mereka. Masih ada setumpuk persoalan lain yang perlu mendapat advokasi dari semua pihak.
Persoalan pertama dan utama adalah status. Semula, demi kepentingan pendidikan secara makro, pengangkatan guru bantu dimaksudkan untuk memenuhi rasio guru dan siswa pada setiap jenis dan jenjang sekolah.
Namun bukannya menjawab permasalahan tersebut, kebijakan itu justru menambah persoalan baru.
Status guru bantu menjelma sebagai beban psikologis dan rasa minder bagi yang menyandangnya ketika sehari-hari mesti berinteraksi dengan sesama guru dan para siswa.
Bagaimana mungkin sebuah tugas profesional yang memerlukan sense dan dukungan ari direduksi hanya menjadi tugas yang bisa dimulai ketika kontrak ditandatangani dan berakhir ketika kontrak tak diperpanjang lagi.
Sejak mula memang sudah banyak yang mengingatkan, perekrutan guru bantu adalah kebijakan terbutuk dalam mengatasi persoalan keguruan. Tapi rupanya pemerintah lebih suka menunda-nunda penyelesaian masalah, sekalipun pilihan itu sesungguhnya hanya akan menumpuk masalah baru.
Persoalan berikutnya, kekhawatiran akan minimnya kesempatan para guru bantu untuk on going formation telah nyata adanya. Sekalipun pengembangan profesionalitas itu niscaya bagi mereka, sebagaimana guru jenis lain, sampai masa kontrak itu berakhir kesempatan untuk itu nyaris tidak ada.
Kesempatan untuk mengasah diri lebih banyak dinikmati oleh guru-guru yang berstatus pegawai negeri.
Persoalan Krusial
Namun di antara berbagai persoalan tersebut, yang terasa aktual dan berada pada titik krusial adalah menyangkut masa depan guru bantu. Lebih-lebih pada saat masa kontrak mereka telah berakhir. Bagaimana nasib mereka setelah masa kontrak habis? Diperpanjang atau diberhentikan? Diangkat jadi pegawai negeri atau diabaikan? Itulah yang senantiasa menggelayuti pikiran para guru bantu saat ini.
Dalam bayang-bayang harapan campur kecemasan macam itu, terasa berlebihan jika mengharapkan mereka bisa melakukan tugas dengan tenang, mempersiapkan siswa untuk menghadapi tes semester sekalipun.
Rencana yang pernah didengungkan pejabat Depdiknas untuk langsung mengangkat guru bantu menjadi PNS ketika masa kontrak habis, kiranya perlu terus - menerus didorong agar segera terwujud. Di samping itu, pemerintah pusat harus menaikkan gaji guru bantu yang belum terangkat menjadi PNS, minimal dua kali lipat dari gaji sekarang. Itu pun harus disertai upaya secara nyata dari pemerintah daerah dan sekolah untuk memberikan insentif atau apa pun namanya agar guru memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak.
Pemerintah daerah dan sekolah tak boleh mengelak dengan alasan guru bantu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian semua pihak adalah berkait dengan PP No 48 Tahun 205, terutama mengenai empat kualifikasi tenaga honorer yang akan diangkat sebagai PNS. Tenaga honorer yang berusia di atas 46 tahun otomatis diangkat menjadi PNS bila memiliki masa kerja di atas 20 tahun berturut-turut.
Sementara bagi yang memiliki masa kerja 10 hingga kurang dari 20 tahun, usianya dibatasi maksimal 46 tahun. Untuk masa kerja 5 hingga kurang dari 10 tahun dibatasi usia maksimal 40 tahun. Adapun yang baru memiliki masa kerja kurang dari lima tahun dibatasi usia maksimal 35 tahun.
Jika aturan itu ditaati secara kaku, ribuan guru bantu terancam tidak dapat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Kalau masa kerja mengajar sebelum menjadi guru bantu tidak diperhitungkan, 65% dari 236.011 guru bantu jelas-jelas akan tanggal oleh kriteria PP tersebut.
Di sinilah, kemauan baik dan kearifan para pemangku kewenangan urusan tersebut dibutuhkan.
Namun apa pun yang bakal terjadi, harus diingat bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari para guru bantu yang sebagian besar sudah berumah tangga itu, untuk saat ini tak pernah berhenti. Karena itu, dengan cara apa pun, pemerintah harus bisa menjamin bahwa pada masa transisi-krusial ini mereka tetap bisa mendapatkan gaji dan tak terlambat lagi. Toh sebagai pendidik, sekalipun status telah mati suri, mereka tetap menjalankan tugas-tugas kependidikan.
Sungguh, jika tidak ada upaya penyelamatan yang konkret terhadap mereka, berita duka tentang mati surinya status puluhan ribu guru bantu di Jawa Tengah dan ratusan ribu lainnya di seantero negeri, masih membutuhkan berlembar-lembar halaman untuk menorehkan catatan in memoriam, tanpa air mata duka. Sebab, air mata itu kering sudah untuk meratapi nasib guru bantu yang senantiasa pilu. (11)
- Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa FBS Unnes.

.

.
Template by : kendhin Honor Jangar