
Tingkat kunjungan masyarakat ke museum-museum masih rendah. Kecenderungan ini terjadi baik di Jawa Tengah maupun daerah-daerah lain. Padahal tempat ini dapat dijadikan semacam objek wisata, atau paling tidak bisa dirangkai dengan objek wisata yang lain. Karena itu, perlu segera dilakukan upaya-upaya untuk menggairahkan kembali aktivitas permuseuman di Jateng. Wartawan Suara Merdeka Dudung Abdul Muslim coba memetakan persoalan ini dari berbagai sisi.
KALAU menjumpai sekelompok anak muda yang duduk di gardu maupun gapura depan kampung, atau bahkan sedang nongkrong dan nampang di mal-mal, cobalah tanya: seringkah mereka pergi ke museum? Bilamana mereka menjawab tidak, maka turunkan kadar pertanyaan itu menjadi: pernahkah pergi ke sana?
Untuk pertanyaan yang kedua, mungkin sebagian besar memang menjawab pernah, terutama ketika masih duduk di bangku SD dan/atau SLTP. Tapi untuk pertanyaan pertama, bisa dipastikan sebagian besar akan menjawab tidak! ''Ngapain pergi ke sana? Kok seperti kurang kerjaan saja,'' demikianlah jalan pikiran anak muda sekarang.
Sebagian orang yang pernah pergi ke museum pun umumnya hanya mengenal tempat-tempat yang masih berada di kotanya, dan jarang sekali yang mengunjungi museum di kota lain. Lihatlah acara kunjungan para pelajar ke Museum Ronggowarsito maupun Museum Mandala Bhakti (keduanya di Semarang), yang hampir semuanya berasal dari sekolah-sekolah di kota yang sama.
Hanya museum-museum yang sudah dikenal di tingkat nasional saja yang sesekali dikunjungi para pelajar, bahkan wisatawan, dari luar daerahnya. Misalnya Museum Prasejarah Sangiran (Sragen), Museum Boscha (Lembang), atau Monumen Yogyakarta Kembali (Monjali). Selebihnya terlihat sepi-sepi saja.
Bahkan sejak Soeharto tak lagi menjadi presiden, Monjali yang berkaitan dengan Serangan Umum 1 Maret -di mana Soeharto terlibat di dalamnya- jarang dikunjungi orang. Dalam musim liburan (Januari) lalu, objek wisata di tepi Jalan Lingkar Utara ini terlihat sepi sekali. Padahal di masa lalu, setiap musim liburan sekolah tiba, puluhan bus dari luar kota di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, selalu antre di halaman yang luas itu.
Pameran Permanen
Menurut artinya, museum adalah gedung yang dipakai sebagai tempat untuk memamerkan benda-benda yang patut mendapat perhatian umum. Misalnya peninggalan sejarah, seni, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi, atau peninggalan tokoh-tokoh penting lainnya. Namun tempat untuk memamerkan benda-benda tersebut bersifat permanen, dan pada sebagian tempat memiliki fungsi sebagai cagar budaya.
Jawa Tengah memiliki beberapa museum penting, yang setidaknya bisa dijadikan ajang pembelajaran bagi para siswa atau masyarakat umum yang menyukai artefak atau barang-barang peninggalan masa lalu. Jika dipetakan, setidaknya setiap daerah rata-rata memiliki satu museum. Bahkan beberapa daerah mempunyai dua museum atau lebih. Di Magelang, misalnya, terdapat Museum Asuransi Bumiputera, Museum Jenderal Sudirman, Museum Abdul Jalil, Museum Bepeka, Museum Kamar Pangeran Diponegoro, dan Museum Haji Widayat. Atau Banyumas yang memiliki Museum Uang BRI dan Museum Wayang Sendang Mas.
Tetapi karena berbagai faktor, jarang ada yang mengetahuinya secara detail. Masyarakat Jateng di bagian timur, seperti Rembang, Blora atau Sragen, kebanyakan masih asing dengan adanya Museum Tosan Aji di Purworejo atau Museum BRI di Purwokerto, Banyumas. Begitu pula masyarakat di Purwokerto yang jarang mendengar kalau di Solo terdapat Museum Radyapustaka, yang menyimpan berbagai macam artefak dari Kerajaan Mataram Kuno hingga jaman kolonial Belanda.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Tidakkah ada rasa kebanggaan yang dimiliki masyarakat Jateng terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah di daerahnya sendiri? Tentu kesalahan tidak boleh ditimpakan kepada masyarakat sepenuhnya. Sebagai ''konsumen'', masyarakat hanya merespon sikap ''penjual'' dan apa yang dijualnya.
Kalau pun ada yang perlu disalahkan pada masyarakat, barangkali rendahnya kesadaran akan sejarah dan peninggalan-peninggalan bersejarah di masa lalu. Itu pun bila ditelusuri lebih lanjut tetap bukan merupakan kesalahan masyarakat, melainkan lebih tepat dialamatkan pada sistem pendidikan -khususnya untuk mata pelajaran sejarah- di sekolah-sekolah.
Muatan lokal mestinya bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh sekolah, dengan lebih sering mengajak para pelajar ke tempat-tempat seperti museum. SD Pendrikan Utara 03-04 Kota Semarang, misalnya, seringkali mengajak siswa-siswinya ke Museum Mandala Bhakti (dekat Tugu Muda) serta Museum Ronggowarsito.
Metode pengajaran ini cukup efektif, terutama untuk mengingatkan arti penting sejarah masa lalu. Bahkan pengelola TK/SD Islam Nasima punya cara lain yang cukup unik dalam meningkatkan pemahaman peserta didiknya. Selain mengunjungi tempat ini, siswa-siswi yang akan diwisuda pun seringkali harus menjalaninya di tempat ini.
Mungkin yang perlu disempurnakan adalah bagaimana memperluas daya jangkau kunjungan, sehingga tak terbatas pada museum-museum di daerahnya sendiri. Misalnya siswa-siswi dari Semarang diajak mampir ke Museum Kereta Api di Ambarawa, atau ke Museum Batik di Pekalongan.
Selama ini, ketidakmampuan sekolah dalam mengajak peserta didik ke museum disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak ada kemauan pihak sekolah untuk meningkatkan variasi muatan lokal. Kedua, pertimbangan dana terutama bagi sekolah-sekolah yang mayoritas siswanya berasal dari keluarga kurang/tidak mampu. Jika faktor kedua yang lebih dominan, pemerintah daerah perlu memberi perhatian pada masalah ini, meski sekolah kini sudah otonom.
Faktor Publikasi
Di era otonomi seperti sekarang ini, pemerintah daerah kabupaten/kota perlu lebih menggiatkan lagi upaya-upaya untuk menggairahkan aktivitas museum. Sebab masih banyak peluang yang dapat dilakukan supaya museum menjadi salah satu tempat kunjungan wisata, khususnya kalangan pelajar di daerahnya atau dari daerah lain.
Publikasi! Itulah kelemahan utama dalam pengelolaan museum-museum di Indonesia, tidak terkecuali yang ada di Jawa Tengah. Sebagus apa pun benda yang dipamerkan, kalau publikasinya masih lemah, tentu sulit untuk bisa menarik minat masyarakat untuk mengunjungi tempat tersebut.
Jika persoalan dana masih jadi alasan, perlu dipikirkan untuk bekerja sama dengan event organizer untuk menggelar acara-acara menarik di museum, yang diperkirakan dapat mengundang perhatian banyak orang. Strategi ini telah dilakukan Museum Ronggowarsito.
Selain menjadi ajang permanen untuk pameran benda-benda purbakala dan keistimewaan sejarah lainnya, tempat ini juga sering digunakan untuk berbagai kegiatan lain seperti pentas seni, lomba mewarnai, hingga pelepasan wisudawan-wisudawati.
Dengan demikian, sebuah museum bisa dikunjungi banyak orang, kendati benda-benda yang dipamerkan terbilang ''biasa-biasa'' saja. Apa sih yang menarik dari loko tua, dengan mesin uap lagi, seperti yang tersaji di Ambarawa? Tetapi dengan kemasan pelayanan dan publikasi yang cukup bagus, Museum Kereta Api di kota sejuk ini justru menjadi salah satu objek wisata favorit. Padahal, museum ini tak lebih dari stasiun yang lama tak difungsikan.
Perawatan atau pemeliharaan juga menjadi kata kunci bagi suksesnya pengelolaan suatu museum. Namun hal ini seringkali memunculkan lingkaran setan, ketika harus dikaitkan minimnya jumlah kunjungan. Acapkali pemerintah daerah merasa tidak perlu serius mengelola museum, karena tidak mampu memberi kontribusi besar dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sebagian besar pemerintah daerah lebih giat mengundang investor, maupun menginvestasikan dananya, dalam bentuk mal, supermarket, ruko, atau perumahan, daripada investasi dalam bidang wisata-pendidikan seperti museum. Mungkin karena yang bidang yang satu ini tidak cepat memberi keuntungan dalam waktu singkat.
Apalagi beberapa museum dimiliki oleh perusahaan atau institusi tertentu, yang kantornya pun tidak selalu berada di daerah yang sama. Namun argumen seperti ini harus segera disingkirkan, apabila masing-masing pemda selalu mengembangkan budaya optimitistis, terutama dalam pengembangan museum yang menjadi miliknya sendiri.
Yang tak kalah penting adalah mengundang peran Dinas Pariwisata, khususnya dalam membentuk jejaring wisata di daerah masing-masing di mana museum menjadi bagian yang perlu dilibatkan. Bukankah museum tak hanya bisa dijadikan ajang pembelajaran, tetapi juga bisa menjadi objek wisata?
Sumber: